Rabu, 07 Februari 2018

BEDA ADAT PANGGIH SURAKARTA - JOGJAKARTA
YANG BANYAK DIABAIKAN

Panggih artinya bertemu. Kata lain yang biasa digunakan adalah, dhaup, temu, panggih. Upacara adat Panggih dalam acara pernikahan adalah sebuah upacara adat jawa yang mempertemukan pengantin wanita dengan pengantin pria.
Upacara yang bersumber dari Kasultanan Mataram ini, lazimnya dilaksanakan sesaat setelah kedua mempelai dinyatakan sah sebagai suami istri menurut hukum agama.


Simbol utama upacara panggih adalah balangan gantal atau balangan suruh atau balangan sedhah lininting, yakni kedua mempelai saling melempar daun sirih yang telah digulung dan diikat dengan lawe ( benang berwarna putih ).
Beberapa ketentuan yang tidak boleh diabaikan, antara lain :
- Jumlah gantal harus ganjil
- Sasaran yang dilempar / dibalang ( dimuat edisi berikutnya )
- Daun sirih yang digunakan ( ditulis dalam edisi berikutnya )
- Benang pengikat harus berwarna putih
- Cara melempar

Upacara Panggih dipimpin oleh dua orang sesepuh atau pinisepuh terpilih, yang tidak memiliki catatan buruk dalam hidupnya, sehingga pantas diteladani oleh pasangan pengantin. Sesepuh atau pinisepuh tersebuat bertindak sebagai Juru Panggih dan seorang lainnya sebagai Dhalang Manten. Sebutan lain dari Juru Panggih adalah, Juru Pamratitis, Dhukun Manten, ada juga yang menyebut Juru Sumbaga, seperti sebutan Juru Paes / Perias. Sedangkan Dhalang Manten biasa juga digelari Panata Laksana atau Juru Paniti Laksana.

Pada jaman dahulu, ada ketentuan ketat yang harus dipenuhi  seseorang sebelum diakui dan didaulat oleh masyarakat menjadi Juru Panggih atau Dhalang Manten, antara lain :
- Yuswa Sepuh ( 40 tahun ke atas )
- Pemangku adat
- Menguasai sastra jawa
- Menguasai sastra tutur
- Memiliki ilmu pedhalangan
- Krama lan jangkep ( telah menikah dan utuh/bukan janda atau duda, kecuali sudah adisepuh dan telah memilih tidak bersuami/istri lagi )
- Diutamakan telah memiliki anak
- Dan masih banyak ketentuan moral lainnya misalnya, pantang bagi seseorang yang belum menikah menangani adat ini.

Entah karena syarat - syarat dari para leluhur banyak yang dilanggar atau bergesernya nilai - nilai moral sehingga acara adat ini lebih mementingkan sisi komersiil, maka saat ini banyak orang yang 'sedikit ilmu' atau bahkan 'sekedar tahu' berani nekat terjun 'kedunia kasepuhan', ini. Celakanya, tidak sedikit diantara mereka yang tidak mau belajar untuk memperdalam ilmunya. Sekedar bisa, bermodal nekat, berbekal kepiawaian dalam promosi akhirnya 'keminter'.

Tentu saja fenomena ini tidak bisa digebyah uyah, karena masih cukup banyak para praktisi javanese wedding yang memiliki ilmu dan ngelmu linuwih dan pantas mendapat sebutan 'empu' atau pengampu budaya. Sayangnya, golongan yang satu ini enggan 'promosi'. Kenapa ? Karena rata - rata para sepuh ini lebih mengedepankan 'rasa'.

Boleh jadi karena ketidaktahuan atau kurangnya ilmu dari 'sebagian' pelaku upacara panggih, di sebuah kota besar, saya sering menemui kerancuan dalam pelaksanaannya. Atau mungkin juga ada pertimbangan lain yang saya tidak tahu maksudnya ? Tapi apapun pertimbangannya, tentulah kurang pas.
Sudah barang tentu tidak selalu begitu, karena di tempat yang sama saya juga sering menyaksikan prosesi yang rapi, tertata, bagus dan pakem.

Catatan ini saya kerucutkan pada satu hal saja, yaitu perbedaan Tata Upacara Adat Panggih antara gagrag Surakarta / Sala dan Jogjakarta. Namun demikian saya tidak akan menyampaikan kekeliruan pelaksanaan seperti ditulis diatas.

Biarpun berasal dari sumber yang sama, namun seperti yang kita tahu, setelah Perjanjian Giyanti ada beberapa perbedaan antara Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngajogjakarta Hadiningrat, termasuk Upacara Pawiwahan. Semua itu dipegang teguh oleh masing wilayah tersebut dan diikuti oleh rakyatnya hingga saat ini. Yang tampak saat ini, perbedaan - perbedaan itu bukanlah menjadi sekat, namun justru memperkaya khasanah budaya bangsa.

Beberapa perbedaan Upacara Adat Panggih antara Surakarta/Sala ( Solo ? ) - Jogjakarta/Jogja :

* Solo :
1. Balangan Gantal - Wijidadi - Wijikan
2. Wijidadi : Telor ayam kampung diinjak mempelai pria
3. Sindur Binayang : Kedua mempelai sininguban kain sindura, Ayah berjalan didepan, mempelai ditengah, ibu di belakang.
4. Ada Bobot Timbang/Pangkon/Trajon
5. Ada Tanem Manten/Tanem Jero/Nglenggahne Manten/Wisudhan Panganten
6. Guna Kaya disebut Kacar - Kucur
7. Dhahar Klimah/Dhahar Walimahan dengan cara Dulangan. Kedua mempelai saling menyuapi dengan tangan telanjang
8. Dhahar klimah sebanyak tiga kali pulukan.

* Jogja :
1. Balangan Gantal - Ranupada/Wijikan - Wijidadi
2. Wijidadi : Telor ayam kampung dipeteg ke kening kedua mempelai oleh Juru Panggih, kemudian dibanting.
3. Apitan : Kedua mempelai diapit oleh ayah - ibu menuju pelaminan
4. Pondhongan : dadi wenangi putri kraton, tidak untuk masyarakat biasa
5. Tidak ada Bobot Timbang
6. Tidak ada Tanem Manten
7. Guna Kaya disebut Tampa Guna Kaya
8. Dhahar Klimah : Mempelai pria mengepal - kepal nasi untuk disuapkan kepada mempelai wanita. Pria tidak ikut makan.
9. Dhahar Klimah sebanyak tiga kali kepalan.

Beberapa perbedaan lainnya dan persamaannya akan dimuat dalam kesempatan lain
( Bdg : Mas Yan )




 yang t

Tidak ada komentar:

Posting Komentar