Kamis, 22 Februari 2018

Catur Wedha Laksitatama

CATUR WEDHA LAKSITATAMA
Merupakan wejangan atau nasihat yang disampaikan oleh seorang ayah ( calon mertua ) kepada calon menantu.
Pitutur ini disampaikan pada saat Calon Mempelai Pria sedang melaksanakan adat 'nyantrik/nyantri', pada malam midodareni.

Malam itu, calon mempelai pria hadir bersama rombongan ke rumah calon mertua. Kedatangannya diantarkan oleh sesepuh atau pinisepuh yang ditunjuk, sebagai wakil atau utusan orang tua. Biasanya kedua orang tua CMP ( Calon Mempelai Pria ) atau CPP ( Calon Pengantin Pria ), tidak ikut ambil bagian dalam upacara midodareni ini. Kalaulah ikut hadir, maka statusnya hanya sebagai tamu biasa.

Pada jaman dahulu, seusai dilaksanakan rangkaian prosesi, maka CPP akan diantarkan ke sebuah pemondokan untuk menginap sesuai waktu yang ditentukan. CPP akan ditemani sanak saudara tertentu, biasanya kaum sinoman. Pada saat 'Nyantri', inilah CPP diberi berbagai ilmu kehidupan maupun do'a ( tutur-sembur ) oleh para sesepuh yang limpat ing pitutur, pono ing pamawas, kaya ilmu maupun pengalaman hidup. Tentu semua itu bertujuan agar pengantin mampu mengharungi bahtera rumah tangga sesuai yang diharapkan.

Namun karena perubahan jaman, dengan berbagai alasan dan pertimbangan, maka di era modern ini, pelaksanaannya disimpelkan, agar efektif dan efisien. Termasuk dalam hal pitutur luhur, hanya disampaikan oleh calon mertua. Isi wejanganpun cukup disingkat, hanya inti sarinya saja.

Redaksi wejangan Catur Wedha ini juga berbeda - beda, tergantung kreatifitas penyampainya. Bahkan sering Catur Wedha dibuat oleh Wedding Organizer ( WO ). Celakanya banyak praktisi wedding yang kurang paham dengan makna catur wedha ini, akhirnya 'pitutur luhur' yang seharusnya menjadi pengangan hidup bagi CPP maupun CPW menjadi kehilangan ruh, hilang makna dan hanya menjadi prosesi belaka.

Sekalipun redaksi wejangan ini berbeda - beda, namun isi yang terkandungi di dalamnya memiliki inti nasihat yang sama, yaitu :
1. Kehidupan rumah tangga yang religius
2. Berbakti pada orang tua ( ayah - ibu dan ayah - ibu )
3. Kesetiaan
4. Kasih sayang
5. Tanggung jawab
6. Cinta tanah air ( Negara )

Berikut contoh Naskah Catur Wedha Laksitatama :

WEJANGAN CATUR WEDHA LAKSITATAMA

Nak, sebagai bekal bagi seorang kepala rumah tangga, Bapak akan memberimu wejangan Catur Wedha Laksitatama. Catur artinya empat, Wedha = ajaran budi pakarti,  Laksita = perilaku, sedangkan Tama, artinya utama. Peganglah empat ajaran perilaku utama dari Bapakmu ini, agar dapat membangun rumah tangga bahagia

CATUR WEDHA LAKSITATAMA

1. Bekti Marang Gusti Pangeran, sabab mula bukanira lan uripira, wus ginaris lan kinodrat dining kang Kawasa
(Berbakti dan taatlah pada Tuhan, sbb asal muasal dan hidupmu sesuai garis dan kodrat yang Maha Kuasa ).

2. Bekti Marang Bapa - Ibu lan Bapa - Ibu, jer Bapa kang ngukir jiwa - ragamu, Ibu kang dadi lantaraning tumuwuh.
( Berbakti pd Ayah-Bunda dan Ayah-Bunda, sebab ayahlah yang telah mengukir jiwa ragamu dan Bunda sebagai lantaran Engkau lahir, tumbuh dewasa hingga menjadi manusia sejati ).

3. Tresnajati Marang garwa lan anak turunira , jer jiwa - raganira wus manunggal - nyawiji.
( Tuluslah mencintai istri dan anak keturunan, sbb jiwa ragamu telah menyatu dlm ikatan suci dan anak turunmu bagian dari darah, daging dan tulang sungsummu ).

4. Bekti Marang Nagari, jer panguripanira  kungkulan ing Hakasa lan sinangga ing Ibu Pretiwi.
( Berbakti kpd Negara, sbb hidup dan kehidupanmu berada dalam payung tahta agung Ibu Pertiwi).

...............             ...........
Bapakmu            Putra


               PANGRIPTA
               (  Mas Yan )

Selasa, 20 Februari 2018

Tradisi Lempar Sirih atau Balangan Gantal Dalam Pernikahan Jawa

Tradisi Lempar Sirih ( Balangan Gantal ) Pernikahan, Asalkah ?

Dalam pernikahan adat jawa baik gagrag Jogja mau Surakarta, terdapat rangkaian upacara adat panggih. Adat Panggih merupakan proses dipertemukannya pengantin pria dan wanita sebagai pasangan suami istri. Legitimasi panggih ini ditandai dengan saling melempar sirih ( balangan gantal ) antara pengantin pria dan wanita.

Terdapat beberapa ketentuan dalam lempar - melempar sirih ini, antara lain :
1. Daun sirih yang digunakan
- Daun sirih segar
- Dua lembar daun sirih yang bertemu ruas ( matemu ros ).
- Gantal berjumlah ganjil ( 7 linting )

2. Benang / Lawe pengikat : benang berwarna putih

3. Cara melempar
- Lemparan pertama, oleh pengantin pria ke tubuh pengantin wanita
- Lemparan kedua, bersamaan antara pengantin pria dan wanita, dengan sasaran kening
- Lemparan ketiga, bersamaan antara pengantin pria dan wanita, dengan sasaran dada
- Lemparan keempat, bersamaan antara pengantin pria dan wanita, dengan sasaran lutut

Filosophy Balangan GantalGantal

* Daun sirih memiliki dua sisi dengan bentuk yang berbeda, melambangkan dua orang pengantin yang berbeda sifat, kepribadian dan jenis kelamin.
* Daun sirih diambil dari satu ruas ( ros ) : bersatu dalam rasa, perasaan, hati ( manunggal ing rasa ).
* Tujuh linting : 7 dalam bahasa jawa artinya pitu. Mengandung harapan mendapatkan pitulungan ( pertolongan ) dan senantiasa memberi hidup tolong - menolong
* Lawe wenang / benang pengikat warna putih : tali ikatan sucisuci

* Lemparan ke kening / kepala :
- Manunggal ing cipta ( menyatunya cipta )
- Mulur pikire ( berkembang pola pikir )
- Berpikir dewasa, saling ingat - mengingat, saling menjaga dan bertanggung jawab
- Meninggalkan pola pikir orang muda / lajang dan kekanak - anakkan
- Bagi wanita yg biasanya lebih mengandalkan perasaan, harus dapat menyeimbangkan dengan pikiran ( logika )

* Lemparan ke dada
- Manunggal ing rasa ( menyatunya rasa, perasaan, hati, jiwa )
- Saling memahami
- Ngrembakaning rasa tresna ( tumbuh subur rasa cinta )
- Bagi pria yang biasanya lebih mengedepankan logika, harus membuka hati agar lebih dapat memahami perasaan pasangannya. Karena wanita harus dimengerti, dipahami dan disayangi.
- Saling dekat dihati, dan hidup dalam detak jantung

* Lemparan ke Lutut/Jengku atau ke kaki
- Manunggal ing karsa ( menyatu dalam setiap langkah dan tindakan )
- Kukuh, kuat, sentosa
- Seiring - sejalan
- Sebagian pinisepuh mengartikan kata 'jengku' merupakan keratabasa 'ngajeng pamengku'. Kedua mempelai telah ngajeng - ajeng pamengku, saling berharap untuk dapat merengkuh dan direngkuh atau saling memiliki.

Demikian sekelumit tentang Balangan Gantal dalam tata upacara adat panggih dalam pernikahan jawa ( pawiwahan ). Tentu masih banyak makna yang namun belum seluruhnya diuraikan di sini. Dari uraian yang hanya ' sekilas ' ini, setidaknya dapat diketahui bahwa upacara adat jawa kaya akan makna.

Banyak syarat dan ketentuan yang harus diikuti, bukan asal apalagi asal - asalan, agar tidak kehilangan ruh.


( Diambil dari MY )

Rabu, 07 Februari 2018

BEDA ADAT PANGGIH SURAKARTA - JOGJAKARTA
YANG BANYAK DIABAIKAN

Panggih artinya bertemu. Kata lain yang biasa digunakan adalah, dhaup, temu, panggih. Upacara adat Panggih dalam acara pernikahan adalah sebuah upacara adat jawa yang mempertemukan pengantin wanita dengan pengantin pria.
Upacara yang bersumber dari Kasultanan Mataram ini, lazimnya dilaksanakan sesaat setelah kedua mempelai dinyatakan sah sebagai suami istri menurut hukum agama.


Simbol utama upacara panggih adalah balangan gantal atau balangan suruh atau balangan sedhah lininting, yakni kedua mempelai saling melempar daun sirih yang telah digulung dan diikat dengan lawe ( benang berwarna putih ).
Beberapa ketentuan yang tidak boleh diabaikan, antara lain :
- Jumlah gantal harus ganjil
- Sasaran yang dilempar / dibalang ( dimuat edisi berikutnya )
- Daun sirih yang digunakan ( ditulis dalam edisi berikutnya )
- Benang pengikat harus berwarna putih
- Cara melempar

Upacara Panggih dipimpin oleh dua orang sesepuh atau pinisepuh terpilih, yang tidak memiliki catatan buruk dalam hidupnya, sehingga pantas diteladani oleh pasangan pengantin. Sesepuh atau pinisepuh tersebuat bertindak sebagai Juru Panggih dan seorang lainnya sebagai Dhalang Manten. Sebutan lain dari Juru Panggih adalah, Juru Pamratitis, Dhukun Manten, ada juga yang menyebut Juru Sumbaga, seperti sebutan Juru Paes / Perias. Sedangkan Dhalang Manten biasa juga digelari Panata Laksana atau Juru Paniti Laksana.

Pada jaman dahulu, ada ketentuan ketat yang harus dipenuhi  seseorang sebelum diakui dan didaulat oleh masyarakat menjadi Juru Panggih atau Dhalang Manten, antara lain :
- Yuswa Sepuh ( 40 tahun ke atas )
- Pemangku adat
- Menguasai sastra jawa
- Menguasai sastra tutur
- Memiliki ilmu pedhalangan
- Krama lan jangkep ( telah menikah dan utuh/bukan janda atau duda, kecuali sudah adisepuh dan telah memilih tidak bersuami/istri lagi )
- Diutamakan telah memiliki anak
- Dan masih banyak ketentuan moral lainnya misalnya, pantang bagi seseorang yang belum menikah menangani adat ini.

Entah karena syarat - syarat dari para leluhur banyak yang dilanggar atau bergesernya nilai - nilai moral sehingga acara adat ini lebih mementingkan sisi komersiil, maka saat ini banyak orang yang 'sedikit ilmu' atau bahkan 'sekedar tahu' berani nekat terjun 'kedunia kasepuhan', ini. Celakanya, tidak sedikit diantara mereka yang tidak mau belajar untuk memperdalam ilmunya. Sekedar bisa, bermodal nekat, berbekal kepiawaian dalam promosi akhirnya 'keminter'.

Tentu saja fenomena ini tidak bisa digebyah uyah, karena masih cukup banyak para praktisi javanese wedding yang memiliki ilmu dan ngelmu linuwih dan pantas mendapat sebutan 'empu' atau pengampu budaya. Sayangnya, golongan yang satu ini enggan 'promosi'. Kenapa ? Karena rata - rata para sepuh ini lebih mengedepankan 'rasa'.

Boleh jadi karena ketidaktahuan atau kurangnya ilmu dari 'sebagian' pelaku upacara panggih, di sebuah kota besar, saya sering menemui kerancuan dalam pelaksanaannya. Atau mungkin juga ada pertimbangan lain yang saya tidak tahu maksudnya ? Tapi apapun pertimbangannya, tentulah kurang pas.
Sudah barang tentu tidak selalu begitu, karena di tempat yang sama saya juga sering menyaksikan prosesi yang rapi, tertata, bagus dan pakem.

Catatan ini saya kerucutkan pada satu hal saja, yaitu perbedaan Tata Upacara Adat Panggih antara gagrag Surakarta / Sala dan Jogjakarta. Namun demikian saya tidak akan menyampaikan kekeliruan pelaksanaan seperti ditulis diatas.

Biarpun berasal dari sumber yang sama, namun seperti yang kita tahu, setelah Perjanjian Giyanti ada beberapa perbedaan antara Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngajogjakarta Hadiningrat, termasuk Upacara Pawiwahan. Semua itu dipegang teguh oleh masing wilayah tersebut dan diikuti oleh rakyatnya hingga saat ini. Yang tampak saat ini, perbedaan - perbedaan itu bukanlah menjadi sekat, namun justru memperkaya khasanah budaya bangsa.

Beberapa perbedaan Upacara Adat Panggih antara Surakarta/Sala ( Solo ? ) - Jogjakarta/Jogja :

* Solo :
1. Balangan Gantal - Wijidadi - Wijikan
2. Wijidadi : Telor ayam kampung diinjak mempelai pria
3. Sindur Binayang : Kedua mempelai sininguban kain sindura, Ayah berjalan didepan, mempelai ditengah, ibu di belakang.
4. Ada Bobot Timbang/Pangkon/Trajon
5. Ada Tanem Manten/Tanem Jero/Nglenggahne Manten/Wisudhan Panganten
6. Guna Kaya disebut Kacar - Kucur
7. Dhahar Klimah/Dhahar Walimahan dengan cara Dulangan. Kedua mempelai saling menyuapi dengan tangan telanjang
8. Dhahar klimah sebanyak tiga kali pulukan.

* Jogja :
1. Balangan Gantal - Ranupada/Wijikan - Wijidadi
2. Wijidadi : Telor ayam kampung dipeteg ke kening kedua mempelai oleh Juru Panggih, kemudian dibanting.
3. Apitan : Kedua mempelai diapit oleh ayah - ibu menuju pelaminan
4. Pondhongan : dadi wenangi putri kraton, tidak untuk masyarakat biasa
5. Tidak ada Bobot Timbang
6. Tidak ada Tanem Manten
7. Guna Kaya disebut Tampa Guna Kaya
8. Dhahar Klimah : Mempelai pria mengepal - kepal nasi untuk disuapkan kepada mempelai wanita. Pria tidak ikut makan.
9. Dhahar Klimah sebanyak tiga kali kepalan.

Beberapa perbedaan lainnya dan persamaannya akan dimuat dalam kesempatan lain
( Bdg : Mas Yan )




 yang t

Selasa, 06 Februari 2018

BEBERAPA HAL YANG MULAI DIABAIKAN DALAM PERNIKAHAN ADAT JAWA

Blog ini mengutamakan informasi budaya jawa.
Pernikahan adat jawa mendapat perhatian khusus.
Kami akan menjawab setiap pertanyaan yg berhubungan dengan tatacara / upacara adat jawa.
Kami juga akan melayani konsultasi, sharing, tukar pengetahuan tentang pernikahan dan hal lain yg berhubungan dg adat jawa.

Persahabatan, kekeluargaan sangat kami junjung tinggi. Siapapun dapat menjadi saudara dan seorang saudara wajib menentramkan saudara lainnya.
Ketika ada perbedaan, pantang bagi seorang saudara saling merendahkan, apalagi memutuskan hubungan.

Dalam pepatah jawa, " tega larane ora tega patine. Yen mati panggah tak tangisi ".
Karena saudara tetaplah saudara.

UPACARA PERNIKAHAN ADAT JAWA

Ketika seseorang telah memutuskan menggunakan adat dalam pernikahannya, maka harus siap dengan konsekuensinya.
Ada banyak hal yg seyogyanya diperhatikan. Biarpun begitu bukan berarti adat harus 'kaku', sehingga terkesan 'mengungkung'.

Ada beberapa hal dalam adat jawa yang harus tetap dijaga, ada yang tidak boleh diabaikan dan ada pula yang dapat disesuaikan,  nut jaman kelakone.

Dewasa ini banyak hal yang diabaikan dalam uparacara pernikahan adat jawa, terutama di kota - kota besar. Mungkin karena kurangnya pengetahuan para praktisi wedding yang nota bene anak - anak muda. Boleh jadi karena para sesepuh 'lupa atau enggan' menyampaikan mengenai pantangan yang telah digariskan oleh para leluhur jaman dulu.

Beberapa hal yang tidak boleh diabaikan itu antara lain :

1. JURU PAES ( Perias )
Wajibe Juru Paes iku, wanita kang wus balegriya tur jangkeb.
( wanita yang sudah berumah tangga dan utuh ( bukan janda ), kecuali Juru Paes ( Perias ) yang telah berusia sepuh ( adiyuswa, adisepuh ) yang telah memutuskan hidup sendiri karena ditinggal mati suami.

2. PANATA ADICARA ( Pranata Acara /MC ) PANGGIH
Pranata Adicara, sekarang disebut MC Adat Panggih adalah seorang dhalang manten.
Wajibe Pranata Adicara / Dhalang Manten iku, priya utawa wanita kang wus balegriya tur jangkeb ( pria atau wanita yg telah berumah tangga dan utuh ( bukan bujang, bukan duda atau janda ).

3. PANATA ADICARA / MC AKAD NIKAH
Wajibe kang wus krama ( seorang yang telah menikah / bukan bujangan ).
Sebaiknya, MC akad nikah apalagi pernikahan islami adalah seorang pria.
Kenapa ? Karena suara wanita termasuk 'aurat' apabila dalam suatu majelis terdapat banyak laki - laki.

4. JURU PANGGIH
Wajibe Juru Panggih iku, Wanita utawi Priya kang wus balegriya tur jangkep ( wanita atau laki - laki yang telah menikah, bukan janda atau duda ).

5. DHALANG BUBAK KAWAH
Wajibe Dhalang Bubak iku Priya kang wus mantu ( laki - laki sepuh yang sudah pernah mantu / menikahkan putranya )

6. DHALANG RUWAT
Wajibe Dhalang Ruwat iku, dhalang sepuh kang wus mantu, dede jaka dede dhudha ( dalang sepuh yang sudah pernah mantu, bukan jejaka bukan duda artinya wajib beristri ).

( Bandung, Feb'18. Oleh Mas Yan ).